Jum'at, 07 Agustus 2020
Tafsir Al-Qur'an
| Al-Qur'an |
|---|
![]() |
| Bagian dari seri tentang |
| Islam |
|---|
Tafsir Al-Qur'an (bahasa Arab: تفسير القرآن) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Al-Qur'an, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.[1]
Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Al-Qur'an). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Usaha menafsirkan Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[2]
Definisi[sunting | sunting sumber]
Al-Utsaimin (2001), hlm. 23 menyebutkan, "Tafsir secara bahasa berasal dari al-fasr (bahasa Arab: الفسر), yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup." Adapun secara bahasa, tafsir (Al-Qur'an) adalah penjelasan terhadap makna-makna yang dikandung Al-Qur'an. As-Suyuthi menukil dari Al-Imam Az-Zarkasyi, menjelaskan pengertian tafsir sebagai ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[2]
Urgensi tafsir Al-Qur'an dalam Islam[sunting | sunting sumber]
Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad
melalui Malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur'an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.
Mempelajari tafsir Al-Qur'an adalah kewajiban berdasarkan firman Allah swt yang artinya sebagai berikut.
- "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS Sad [38]: 29) Allah swt menjelaskan bahwa hikmah diturunkannya Al-Qur'an yang penuh dengan berkah adalah agar manusia men-tadabbur-i ayat-ayatnya dan meneliti ayat-ayat itu. Tadabbur adalah merenungi lafal-lafal Al-Qur'an untuk memahami maknanya. Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan hikmah tersebut dan lafal-lafal Al-Qur'an tidak akan memberi pengaruh.
- "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (QS Muhammad [47]: 24) Allah swt mencela orang-orang yang tidak men-tadabbur-i Al-Qur'an serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan pada hati mereka.
Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari tafsir Al-Qur'an. Mereka mempelajari lafal dan makna Al-Qur'an sehingga mereka bisa melaksanakan amal yang Allah maksudkan dalam Al-Qur'an. Tidak mungkin melakukan suatu amal yang tidak diketahui hakikat maknanya.[3]
Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Al-Qur'an, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud, ketika belajar sepuluh ayat dari Al-Qur'an kepada Nabi
, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Al-Qur'an sekaligus ilmu dan amal.'"[4]
Sejarah tafsir Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah
masih hidup sering kali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah
.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri, yaitu
- Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha bin Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir,
- Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka'ab dengan murid-murid Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid bin Aslam, dan
- Irak dengan madrasah Ibnu Mas'ud dengan murid-murid Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah bin Da'amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bil Ma`tsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi ar-ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari.
Rujukan dalam Tafsir Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]
Al-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Al-Qur'an merujuk pada sumber-sumber berikut.[5]
- Pertama: Kalamullah (Al-Qur'an ditafsirkan dengan Al-Qur'an), maksudnya ditafsirkan dengan ayat lain, karena Allah adalah Yang menurunkan Al-Qur'an sehingga lebih mengetahui apa yang dikehendaki ayat. Contoh:
- firman Allah
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
—QS Yunus [10]: 62 Lafal "أَوْلِيَاءَ اللَّهِ" (awliyâ` Allah, wali-wali Allah) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
—QS Yunus [10]: 63 - firman Allah SWT
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ
tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
—QS At-Tariq [86]: 2 Lafal "الطارق" (ath-thâriq, yang datang pada malam hari) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
النَّجْمُ الثَّاقِبُ
(yaitu) bintang yang cahayanya menembus,
—QS At-Tariq [86]: 3 - firman Allah
وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya
—QS An-Nazi'at [79]: 30 Lafal "دَحَاهَا" (daḥâhâ, dihamparkan-Nya) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَاIa memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.
Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,—QS An-Nazi'at [79]: 30
- firman Allah
- Kedua: perkataan Rasulullah (maksudnya Al-Qur'an ditafsirkan dengan as-sunnah), karena Rasulullah adalah pembawa kabar dari Allah sehingga Rasulullah adalah manusia yang paling mengetahui maksud Allah pada firman-Nya. Contoh:
Nabi menafsirkan lafal "زِيَادَةٌ" (ziyâdah, tambahannya) dengan 'melihat wajah Allah', berdasarkan riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hatim tanpa adanya kesamaran dari Abu Musa[6] dan Ubay bin Ka'ab[7].لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.
—QS Yunus [10]: 26 - Ketiga: perkataan sahabat, terutama ulama mereka dan yang memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Al-Qur'an turun dengan bahasa mereka, pada masa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur dalam mencari kebenaran, lebih selamat dari hawa nafsu, dan lebih bersih dari perselisihan yang memecah belah mereka. Contoh:
Telah sahih kabar dari Ibnu Abbas RA bahwa dia menafsirkan 'menyentuh perempuan' dengan 'hubungan badan'.وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan
—QS An-Nisa' [4]: 43 - Keempat: perkataan tabi'in yang perhatian untuk mengambil tafsir dari para sahabat[8], karena mereka adalah generasi terbaik setelah sahabat, lebih selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka. Oleh karena itu, mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan Al-Qur'an daripada generasi setelahnya. Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al Fatawa, "Apabila terdapat konsensus di antara para tabi'in, maka argumen mereka tidak dapat diragukan. Jika terdapat perbedaan, maka argumen-argumen mereka tidak bisa dipertentangkan dan tidak pula menentang argumen orang dari masa setelah mereka. Perbedaan itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur'an, sunnah, atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat atas hal itu."
- Kelima: konsekuensi makna syar'i atau bahasa berdasarkan konteks terhadap suatu kalimat berdasarkan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,"[9] (QS An-Nisa' [4]: 105), "Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)," (QS Az-Zukhruf [43]: 3) dan "Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, suapay ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka." (QS Ibrahim [14]: 4) Jika makna syar'i bertentangan dengan makna bahasa, maka diambil konsekuensi makna syar'i, kecuali terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa sehingga diambil konsekuensi makna bahasa. Hal itu dikarenakan Al-Qur'an turun untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa. Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna syar'i, firman Allah tentang orang-orang munafik:
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَداً
Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,
—QS At-Taubah [9]: 84 (Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'menyembahyangkan.') Salat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syar'i dalam ayat ini adalah berdiri di samping jenazah untuk mendoakannya dengan cara-cara khusus. Dengan demikian makna syar'i didahulukan, karena memang hal itulah yang dimaksud oleh Yang berbicara dan yang dipahami oleh yang mendengar. Adapun larangan berdoa untuk mereka secara mutlak diambil dari dalil lain.
Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna bahasa dengan dukungan dalil, firman Allah SWT
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.
—QS At-Taubah [9]: 103 (Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'mendoalah.') Maksud salat di sini adalah doa berdasarkan dalil HR Muslim[10] dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Nabi pernah ketika menerima zakat orang-orang, berdoa (bersalawat) untuk mereka. Kemudian datang Abi Aufa menyerahkan zakatnya, kemudian Nabi berdoa, "Allâhumma shalli 'alâ âli Abî Awfa (Ya Allah, semoga salawat tercurahkan kepada keluarga Abi Aufa)."[11]
